Minggu, 15 November 2015

Rekayasa Jokowi dan Suku Anak Dalam

Dua foto Presiden Joko Widodo saat berdialog dengan Suku Anak Dalam ramai diperbincangkan di media sosial. Ironisnya, bukan substansi dialog yang diperbincangkan, melainkan tudingan adanya rekayasa atas peristiwa itu. Dua foto yang beredar di media sosial Presiden Joko Widodo berbincang dengan tokoh suku Anak Dalam di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi,Jumat (30/10/2015). Dalam pertemuan itu, Presiden menawarkan untuk merelokasi ke rumah yang layak. Jokowi merupakan presiden pertama yang mengunjungi suku Anak Dalam di Jambi.

Inset: Presiden Joko Widodo berdialog dengan wargadi rumah singgah Suku Anak Dalam yang diabadikan oleh Tim Komunikasi Presiden - sumber ; KOMPAS/C WAHYU HARYO ),
Foto itu disusun dalam satu bingkai dengan penempatan yang satu ada di atas dan yang satunya di bagian bawah. Foto yang di atas memperlihatkan Presiden Joko Widodo yang didampingi Bupati Sarolangun Cek Endra tengah duduk berjongkok di depan rumah, dikelilingi laki-laki dewasa Suku Anak Dalam yang mengenakan pakaian. Foto yang di bawah memperlihatkan Presiden Jokowi yang duduk jongkok di kebun sawit, dikelilingi laki-laki Suku Anak Dalam yang sebagian hanya mengenakan kain untuk menutup aurat. Tidak ada yang salah dari kedua foto itu karena itu foto apa adanya, tanpa ada rekayasa digital. Persoalan muncul ketika pada foto di atas diberi teks, "Sebelum mulai kita briefing dulu bapak-bapak...sebentar lagi kostumnya dibuka ya...biar seperti suku anak dalam." Sementara itu, foto di bawah diberi teks, "Hadap ke saya semua biar kelihatan nyata."  Tidak hanya itu, bagian kepala dari lima orang laki-laki yang ada pada kedua foto tersebut juga diberi lingkaran berwarna, masing-masing merah, putih, kuning, biru, dan hijau. Pesan yang ingin disampaikan, seolah-olah lima laki-laki di situ adalah orang yang sama dan disuruh Presiden untuk berperan menjadi warga Suku Anak Dalam.

Menistakan  ;   

Tudingan rekayasa itu jelas menyesatkan dan menistakan akal sehat. Faktanya, kronologi kejadiannya tidaklah demikian.  Perjalanan menuju tempat tinggal warga Suku Anak Dalam di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, di Kabupaten Sarolangun, Jumat (30/10/2015), ditempuh Presiden dengan menggunakan helikopter Superpuma. Penerbangan dari Bandara Sultan Thaha Syarifuddin menuju tempat pendaratan helikopter di lapangan desa membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Helikopter mendarat di lapangan itu sekitar pukul 15.25. Perjalanan dilanjutkan menggunakan mobil dengan melewati jalan tanah. Sekitar 10 menit kemudian iring-iringan mobil berhenti. Presiden yang di dampingi Ny Iriana Jokowi dan sejumlah menteri lantas berjalan kaki menuju tenda di kebun sawit yang menjadi tempat tinggal Suku Anak Dalam.  Kompas yang ikut dalam rombongan itu melihat, Presiden dan Ny Iriana menyapa dan berinteraksi dengan warga Suku Anak Dalam barang sejenak. Selanjutnya, Presiden mengajak empat laki-laki dewasa dalam kelompok itu untuk sedikit menjauh dari kerukunan dan berdialog. Memang warga dalam kelompok itu mengenakan pakaian ala kadarnya, seperti tergambarkan dalam foto yang dimuat harian Kompas Sabtu lalu. Dalam dialog itu, Presiden didampingi Babinsa Desa Bukit Suban Kopral Husni Thamrin selaku penerjemah. 

Usai berdialog, Presiden dibantu para menteri memberikan bantuan paket bahan makanan dan Kartu Indonesia Sehat. Selanjutnya, Presiden meninggalkan kebun sawit itu untuk menuju lokasi rumah yang dibangun Kementerian Sosial bagi komunitas adat terpencil yang berjarak kurang dari satu kilometer dari sana. Sebelum beranjak dari sana, Presiden menyempatkan menjawab pertanyaan wartawan. Presiden menjelaskan, selain untuk memantau titik api di Jambi dari udara, ia juga ingin bertemu langsung dengan Suku Anak Dalam. "Beberapa kali saya baca mereka ada kesulitan-kesulitan, baik makanan maupun permukiman. Ini tadi sudah kita tanya langsung apakah mau tinggal di rumah dan tidak muter nomaden lagi," kata Presiden. "(Mereka menjawab) mau, tetapi dengan syarat-syarat rumahnya jaraknya agak jauh, lalu ada lahan. Sudah nanti disiapin, Bu Menhut sudah nyiapin, Pak Bupati, Pak Gubernur. Nanti yang mengenai rumahnya diurus Mensos," kata Presiden lagi. Setelah itu, Presiden dan rombongan kembali ke mobil untuk bergerak menuju rumah yang dibangun Kemensos. Di sana, Presiden melihat kondisi rumah dan sekali lagi berdialog dengan Suku Anak Dalam yang telah dibina dan diplot untuk menempati rumah itu.

Berbeda dengan warga Suku Anak Dalam yang dijumpai di kebun sawit, mereka yang berdialog dengan Presiden di lokasi ini memang mengenakan pakaian lengkap. Ada satu peserta dialog ikut dalam dialog di kebun sawit dan di rumah itu, yakni penerjemah Husni Thamrin. "Saya ini tadi ngecek rumah yang sudah dibangun. Masih banyak yang kurang, belum ada sumurnya. Tapi, sebentar lagi sudah akan kita buat sumurnya. Terus listrik. Dulu listrik sudah ada, tapi tidak bisa bayar jadi diputus PLN," kata Presiden. Presiden mengungkapkan itu setelah melihat kondisi rumah dan berdialog dengan warga Suku Anak Dalam di rumah itu.  Selanjutnya, Presiden dan rombongan meninggalkan lokasi itu untuk kembali ke lapangan di Desa Bukit Suban. Dari sana, Presiden terbang menggunakan helikopter menuju ke Jambi.

Dengan merunut kejadian yang sebenarnya, jelas bahwa dua foto yang terbingkai dalam satu frame dengan teks yang berkembang di media sosial itu justru memutarbalikkan fakta. Tentu saja penyampaian informasi yang menyesatkan dan menistakan akal sehat ini tidak boleh dibiarkan.

Ketika kunjungan itu didasari rasa kemanusiaan untuk menolong Suku Anak Dalam, bukankah tudingan rekayasa itu juga mencederai kemanusiaan itu sendiri.

Selasa, 3 November 2015 | 10:15 WIB - KOMPAS.com — Penulis    : Christoporus Wahyu Haryo P -Editor     : Glori K. Wadrianto

Sabtu, 14 November 2015

ISIS sebagai Dalang Serangan di Paris

Presiden Perancis Francois Hollande menyebutkan bahwa serangan teroris yang sedikitnya membunuh 127 orang, Jumat (13/11/2015) malam, sebagai perang yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). "Ini adalah perang yang dilakukan oleh pasukan teroris, pasukan jihad, Daesh, melawan Perancis. Ini adalah perang yang telah dipersiapkan, diatur dan direncanakan dari luar negeri dengan melibatkan orang di sini melakukan investigasi dalam menunjang rencana tersebut," ujar Hollande dari Istana Presiden Élysée Palace, Sabtu (14/11/2015). Kata 'Daesh' yang dipakai oleh Hollande adalah istilah untuk ISIS dalam bahasa Arab. Namun Hollande tidak menjelaskan spesifik data yang membuktikan keterlibatan ISIS.  Sementara itu, beredar pernyataan di Twitter yang belum bisa diverifikasi bahwa ISIS bertanggung jawab atas serangan di Perancis. Mereka menyebut serangan ini sebagai 'mukjizat'.

 Sabtu, 14 November 2015 | 18:02 WIB - PARIS, KOMPAS.com

Rabu, 04 November 2015

Laporkan Balik Fadli Zon

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mendukung langkah aktivis antikorupsi, Ronny Maryanto, yang melaporkan dugaan money politic yang dilakukan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon kepada Panitia Pengawas Pemilu saat pesta Pemilu Presiden 2014 lalu.  Meski Ronny menjadi tersangka pencemaran nama baik, Ganjar menilai hal tersebut menunjukkan partisipasi rakyat untuk menciptakan pemilu yang bersih."Ronny, jangan menyerah. Anda harus lawan.Kalau perlu, gunakan semua alat bukti ketika dulu melaporkan Fadli ke Panwas. Lawan dia dengan baik, dengan bukti adanya dugaan money politic," kata Ganjar, Rabu (4/11/2015).

Sebagai tersangka, lanjut Ganjar, Ronny mempunyai hak-hak hukum. Ia menyarankan untuk melaporkan balik Fadli Zon atas laporan pencemaran nama baik atas dirinya. Jika sudah demikian, ia yakin efek yang nanti ditimbulkan akan jauh lebih hebat."Atas laporan Fadli, sekarang Ronny jadi tersangka, nama baik Ronny otomatis dicemarkan. Laporkan balik saja, nanti efeknya bisa lebih ngeri. Bahkan, kalau nanti jadi tersangka, jabatan Fadli sebagai pimpinan Dewan bisa saja dicopot," ujar Ganjar.

Jika laporan Ronny lantas tidak ditindaklanjuti, itu kemudian bisa jadi pertanyaan. Mengapa antara dua laporan pencemaran nama baik diproses secara berbeda ketika tidak dilanjutkan. Pelaporan pejabat negeri ini terhadap para aktivis dalam kasus pilkada menunjukkan masih banyak warga biasa yang terus kalah.

"Ronny sudah benar sebagai masyarakat dan pemantau melaporkan pelanggaran, kok malah jadi tersangka. Ini kalau jadi yurisprudensi hukum bisa kacau. Masyarakat akan takut terlibat dalam pengawasan pemilu serta dalam pengawasan di pemerintahan," ujar politikus PDI Perjuangan ini. Dia pun menegaskan bahwa persoalan berkaitan dengan pengaduan selalu tidak bisa tuntas. Panwas sebagai lembaga tidak bisa bertindak cepat karena kewenangannya yang terbatas. Keputusan juga tidak final. "Saya sarankan, Ronny paksa pengadilan buka lagi kasus lama. Panwas diperiksa, buka berita acara yang dulu. Dari situ, nanti ketahuan siapa yang sesungguhnya dizalimi," ujarnya.

Penulis    : Kontributor Semarang, Nazar Nurdin - Editor     : Caroline Damanik -SEMARANG, KOMPAS.com

Selasa, 03 November 2015

Engeline Bekerja sampai Jam 11 Malam

Suami istri bernama Susiani dan Handono menjadi saksi dalam sidang perkara pembunuhan Engeline dengan terdakwa Agustay Handa May. Susiani dan Handono pernah indekos di rumah terdakwa Margriet yang menjadi tempat kejadian perkara pembunuhan di Jalan Sedap Malam Nomor 26, Denpasar. "Kan Ibu lihat katanya Engeline setiap pagi memberi makan ayam, bagaimana keadaannya?" tanya hakim Edward Harris Sinaga kepada Susiani, Denpasar, Selasa (3/11/2015).  "Badannya kurus, Pak. Kurus sekali," jawab Susiani.  Selain Susiani, hakim bertanya secara bergantian antara Susiani dan Handono. Yang mengejutkan, Engeline bekerja hingga pukul 11 malam. "Engeline juga mencuci tempat minuman ayam-ayam, sampai pukul 11 malam," kata Handono.

Hakim juga menanyakan soal aktivitas sekolah Engeline saat kelas II di SDN 12 Sanur, Denpasar.  "Engeline kalau sekolah jalan kaki. Jaraknya kurang lebih dua kilometer," kata Susiani.  Susiani dan Handono juga menjelaskan, kondisi pakaian sekolah Engeline agak kusut.

Bahkan, diakui kedua saksi, Engeline sering dimarahi ibu angkatnya (Margriet) di dalam kamarnya.  Kedua saksi tidak melihat langsung, hanya mendengar suara Margriet yang memarahi Engeline dan suara Engeline. "Jangan mami, jangan mami...," kata Susiani.

 Selasa, 3 November 2015 | 13:44 WIB  -  DENPASAR, KOMPAS.com